Budaya Petani dan Pedagang, Budaya Kritik, dan Budaya Bhinneka Tunggal Ika
ERA GLOBALISASI adalah era persaingan antar bangsa, persaingan SDM yang berarti persainganbudaya. Hanya budaya kuat yang akan memenangi persaingan. Meminjam keterangan seorang pengamat sosial, politik dan budaya Jepang, S. Nakajima, bahwa sejarah perjuangan hidup umat manusia hanya akan bermuara pada dua latar belakang budaya, budaya petani (bertani, berternak dan menangkap ikan sebagai nelayan) dan budayapedagang. Jepang, secara sadar mentransformasi budaya petani ke dalam budaya industri. Dan budaya itu pula yang menjiwai budaya industrinya. Apa dan bagaimana “budaya petani” dan “budaya pedagang” dapat tergambar dalam kisah sederhana dibawah ini:
1. Budaya Petani (termasuk Peternak dan Nelayan) dan Budaya Pedagang
Si Dadap dan Si Waru hidup dari berjualan telur itik piaraannya. Pada suatu hari datang Si Polan yang, karena tertarik oleh kualitas telur itik Si Dadap, menyampaikan tawaran menggiurkan. Si Polan ingin membeli itik Si Dadap dan berencana menjual telur itik yang bagus tersebut, dengan harga lebih tinggi, sebagai usahanya. Si Dadap menolak tawaran si Polan. Bagi Si Dadap, ia berjualan telur itik bukan berjualan itik. Baginya itik sudah merupakan bagian dari hidupnya. Ia biasa bercakap-cakap dengan itiknya setiap pagi ketika memberi pakan, mengambil telur, dan saat si itik pulang kandang. Si Dadap mencintai itik peliharaannya. Si Dadap mencintai pekerjaannya.
1. Budaya Petani (termasuk Peternak dan Nelayan) dan Budaya Pedagang
Si Dadap dan Si Waru hidup dari berjualan telur itik piaraannya. Pada suatu hari datang Si Polan yang, karena tertarik oleh kualitas telur itik Si Dadap, menyampaikan tawaran menggiurkan. Si Polan ingin membeli itik Si Dadap dan berencana menjual telur itik yang bagus tersebut, dengan harga lebih tinggi, sebagai usahanya. Si Dadap menolak tawaran si Polan. Bagi Si Dadap, ia berjualan telur itik bukan berjualan itik. Baginya itik sudah merupakan bagian dari hidupnya. Ia biasa bercakap-cakap dengan itiknya setiap pagi ketika memberi pakan, mengambil telur, dan saat si itik pulang kandang. Si Dadap mencintai itik peliharaannya. Si Dadap mencintai pekerjaannya.
Si Polan yang gagal membeli itik Si Dadap melirik ke Si Waru yang kualitas telur itiknya tidak kalah dengan Si Dadap. Tawaran yang sama disampaikan pada Si Waru. Berbeda dengan Si Dadap, Si Waru menghitung ‘enteng’. Ia telah memiliki perhitungan berapa ongkos yang telah dikeluarkan untuk memelihara itiknya. Si Waru berpikir ‘ekonomis’, membuat kalkulasi, menghitung profit. Terjadilah jual beli itik antara Si Waru dan Si Polan.
Dari hasil penjualan itik, Si Waru membeli bibit itik baru dan dari kelebihannya Si Waru juga membeli tomat. Si Waru kemudian berjualan telur itik dan berjualan tomat. Dalam perjalanan waktu Si Waru menjadi kaya raya. Masyarakat mengenal Si Waru sebagai pengusaha bermacam-macam jenis usaha. Bahkan Si Waru telah meninggalkan bisnis telur itik karena kualitas dan harganya kini tidak lagi bisa bersaing dengan telur itik Si Dadap.
Kembali kepada Si Dadap yang begitu cinta pada itiknya. Si Dadap yang tekun memelihara itik-itiknya lambat laun mengenal banyak hal tentang itik. Mulai dari pakan yang bagaiman yang disukai itik, pakan yang menyebabkan itik bertelur lebih banyak, penyakit apa yang biasa menyerang, obat-obat apa yang paling cocok, bulan-bulan apa itik kurang berproduksi dan lain-lain. Si Dadap rajin mencatat dan mengevaluasi. Dengan perkataan lain Si Dadap sangat menguasai dunia ‘peritikan’. Si Dadap menjadi pengusaha sukses dari hasil menjual telur itik.
Si Dadap dan Si Waru adalah pencerminan dua karakter berbeda yang dilandasi oleh latar belakang budayayang berbeda pula. Si Dadap dilatarbelakangi oleh budaya tani, setia pada bidang yang digeluti dan setia pada proses (berorientasi pada proses). Si Dadap tidak pernah berpikir mengalihkan usaha walau pernah terjadi penyakit sampar yang menyerang itik-itiknya. Dari sisi pandang tertentu Si Dadap bisa dinilai statis atau berfikir sempit. Namun satu hal adalah pasti bahwa hanya dari kultur dan karakter seperti Si Dadap-lah yang bisa melahirkan budaya yang berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam arti yang substansial. Menghargai R & D bahkan lebih dari itu merasa perlu adanya R & D hanya bisa tumbuh subur apabila masyarakat memiliki mental ‘Si Dadap’.
Si Waru adalah pencerminan dari kultur pedagang. Berpikir cepat, dinamis, ingin cepat meraih sukses, rajin mencari peluang, dan berani mengambil resiko. Grafik kehidupan budaya pedagang umumnya fluktuatif. Kiat keberhasilan pengusaha pedagang umumnya sulit bisa ditiru karena kondisi dan situasi yang tidak mungkin sama. Kiat keberhasilan hanya bisa memberi inspirasi.
Keberanian mengambil risiko mental pedagang atau mental wiraswasta sejatinya adalah mental spekulasi yang berakar pada budaya judi. Dinamika masyarakat dinamika bangsa sangat diwarnai oleh dinamika swasta. Amerika Serikat dengan heterogenitas bangsanya memupuk 2-budaya sekaligus, memupuk budayaIPTEK yang berakar pada budaya tani dan juga memupuk dengan sadar mental kultur berani mengambil resiko antara lain dengan penghargaan pada kultur judi.
Film-film Hollywood, tidak lepas dari fungsinya sebagai sarana pendidikan untuk bangsanya dan secara konsisten menggambarkan keberpihakan pada dua latar belakang budaya, budaya petani dan budayapedagang. Film Hollywood selalu berpihak pada petani atau peternak, sebagai figur baik dan lugu, yang tanah miliknya ‘diakali’ pengusaha pengembang/real estat/investor industri yang, selalu digambarkan sebagai figur licik rakus dan jahat; Hollywood juga menggambarkan kejantanan cowboy dan/atau jagoan ala James Bond juga dari keberaniannya berjudi. Judi adalah ukuran sekaligus lambang kejantanan, dengan ‘dingin’ berani mengambil risiko.
Bangsa Indonesia perlu mengembangkan dua kultur budaya tersebut, yakni budaya tani yang setia pada bidang yang digeluti, yang pada gilirannya mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan budayadagang, berani mengambil resiko tanpa harus terjebak pada negatifnya kultur judi. Dua kultur budaya melalui manajemen yang baik akan, atau bahkan harus, menghasilkan sinergi bangsa.
2. Budaya Intelektual adalah Budaya Kritik
Manusia adalah ”hewan yang bertanya”, demikian kata Satre, seakan melengkapi “saya berfikir karena itu saya ada” (cogito ergo sum), pandangan Rene Descartes. Dari pernyataan itu jelas apa yang membedakan manusia dengan hewan dan/atau dengan makhluk lainnya. Bertanya adalah berpikir. Budaya intelektual –dapat juga dikatakan budaya IPTEK– adalah budaya berpikir, bertanya adalah bagian dari berpikir kritis.Budaya kritis akan melahirkan budaya kritik. Produk-produk kualitas tinggi dan memiliki daya saing tinggi yang menguasai pasaran dunia adalah produk yang lahir dari negara yang memupuk budaya kritik yang hanya dapat tumbuh berkembang dalam sebuah negara yang menghargai demokrasi.
Manusia adalah ”hewan yang bertanya”, demikian kata Satre, seakan melengkapi “saya berfikir karena itu saya ada” (cogito ergo sum), pandangan Rene Descartes. Dari pernyataan itu jelas apa yang membedakan manusia dengan hewan dan/atau dengan makhluk lainnya. Bertanya adalah berpikir. Budaya intelektual –dapat juga dikatakan budaya IPTEK– adalah budaya berpikir, bertanya adalah bagian dari berpikir kritis.Budaya kritis akan melahirkan budaya kritik. Produk-produk kualitas tinggi dan memiliki daya saing tinggi yang menguasai pasaran dunia adalah produk yang lahir dari negara yang memupuk budaya kritik yang hanya dapat tumbuh berkembang dalam sebuah negara yang menghargai demokrasi.
Produk-produk negara yang tidak memelihara budaya kritik, yang tidak menghargai demokrasi, yang tidak biasa dengan perbedaan pendapat (ketika komunis masih berkuasa), terbukti kalah bersaing di pasar internasional. Jajarkanlah mobil Volga, Moskovitch buatan Uni Soviet, Skoda buatan Ceko, Robur buatan Rumania, Icarus buatan Hongaria dengan mobil Chevrolet, Ford, Peugeot, Citroen, Fiat, Honda, Toyota dan lain-lain. Betapa aneh, bahkan terkesan ‘dungu’, model yang ditampilkan oleh negara yang tidak memupuk budaya kritik. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur antara lain karena gagal menempatkan produk-produknya bersaing di pasar internasional. Hal yang mengakibatkan, dalam jangka panjang, mereka kekurangan dan kehabisan devisa.
Kiranya mudah dipahami, kritik adalah proses untuk memperoleh kualitas tinggi. Kualitas tinggi adalah syarat agar produk bisa bersaing. Pasar internasional, dalam era globalisasi, adalah pasar yang kejam. Hanya produk berkualitas tinggi dengan harga murah yang mampu bertarung. Efisiensi, produktifitas, kreatifitas akan tumbuh berkembang dalam budaya intelektual yang secara sadar memelihara budaya kritik.
3. Budaya Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika artinya keanekaragaman dalam kesatuan atau dalam bahasa lebih puitis ‘mozaik dalam harmoni’. Dunia menghargai bahkan mengagumi keanekaragaman budaya Indonesia. Keanekaragaman adalah kekuatan budaya Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika terpampang jelas tercengkram kokoh oleh kaki-kaki garuda, Garuda Pancasila, lambang negara. Keragaman adalah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman adalah keindahan. Bangsa Indonesia mengenal “Sumpah Pemuda” yang lahir dari kesadaran atas adanya keragaman.
Bhinneka Tunggal Ika artinya keanekaragaman dalam kesatuan atau dalam bahasa lebih puitis ‘mozaik dalam harmoni’. Dunia menghargai bahkan mengagumi keanekaragaman budaya Indonesia. Keanekaragaman adalah kekuatan budaya Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika terpampang jelas tercengkram kokoh oleh kaki-kaki garuda, Garuda Pancasila, lambang negara. Keragaman adalah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman adalah keindahan. Bangsa Indonesia mengenal “Sumpah Pemuda” yang lahir dari kesadaran atas adanya keragaman.
Penyeragaman budaya telah terbukti, sia-sia. Penyeragaman gagal bukan hanya karena mengingkari kebhinnekaan, lebih dari itu, ia gagal karena telah mengingkari kodrat kemanusiaan. Kesadaran bersama akan pentingnya keragaman, kesadaran bersama dan terbiasa menerima ide baru, kesadaran dan kebiasaan (budaya) membahas sesuatu dalam keragaman sudut pandang dan latar belakang budaya akan mengokohkan fondasi budaya bangsa terlebih-lebih dalam upaya mengatasi gejala desintegrasi yang mulai marak sebagai bagian dari krisis multi-dimensi.
(Disarikan dari: Hendarmin Ranadireksa, Visi Bangsa. GUDANG PANGAN, TUJUAN WISATA, PARU-PARU DINIA, Permata Artistika – 2000, h. 129 – 134)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar